Oleh: Maman Suryaman
Di tengah dunia yang penuh disrupsi moral dan disorientasi spiritual, manusia modern menghadapi kekeringan makna. Segala kemajuan materi ternyata belum sanggup menenangkan jiwa.
Dalam konteks ini, konsep jiwa muthmainnah—yang disebut dalam Al-Qur’an sebagai jiwa yang tenang, ridha dan diridhai—menawarkan alternatif arah hidup yang mendalam.
Sementara itu, ibadah haji mabrur, sebagai puncak pencapaian spiritual Islam, dapat menjadi jalan menuju kualitas jiwa tersebut.
Pertanyaannya: apakah haji mabrur merupakan jalan menuju jiwa muthmainnah?
Haji Mabrur: Dimensi Ritual dan Transformasi
Konsep haji mabrur tidak hanya bersifat legal-formal, tetapi mengandung nilai spiritual dan transformasional yang mendalam.
Dalam hadits riwayat Bukhari dan Muslim, Nabi Muhammad ﷺ bersabda:
“Al-hajjul-mabrūr laisa lahu jazā’un illa al-jannah.”
“Haji yang mabrur tidak ada balasan yang pantas baginya kecuali surga.”
(HR. Bukhari, 1773; Muslim, 1349).
Menurut Imam An-Nawawi, “Haji mabrur adalah haji yang tidak tercampuri dengan dosa dan maksiat, dan disertai amal kebaikan setelahnya.” (Syarh Shahih Muslim, An-Nawawi).
Artinya, indikator haji mabrur bukan hanya terletak pada kesempurnaan manasik, melainkan pada perubahan moral pasca-haji.
Dalam perspektif ini, haji menjadi ibadah yang merevolusi batin manusia, bukan sekadar aktivitas ibadah temporer.
Syaikh Wahbah az-Zuhaili menambahkan bahwa haji mabrur "adalah haji yang diterima oleh Allah, yang membentuk ketakwaan dan menumbuhkan kebaikan sosial setelahnya." (al-Fiqh al-Islāmī wa Adillatuh, Jilid 3).
Dengan kata lain, haji yang mabrur menandai keberhasilan dalam proses internalisasi nilai-nilai spiritual Islam yang esensial.
Jiwa Muthmainnah: Tujuan Tertinggi Tazkiyatun Nafs
Dalam Al-Qur’an, Allah berfirman:
"Yā ayyatuhā an-nafs al-muṭma’innah. Irji’ī ilā rabbiki rāḍiyatan marḍiyyah. Fadkhulī fī ‘ibādī. Wadkhulī jannatī."
(QS. Al-Fajr: 27–30).
Menurut tafsir Al-Rāzī, nafs muthmainnah adalah jiwa yang telah mencapai ketenangan karena keyakinan yang sempurna, bebas dari keraguan, dan senantiasa ridha terhadap takdir Allah.
Fakhruddin al-Razi menyatakan bahwa jiwa ini adalah “jiwa yang telah mencapai puncak maqām ridha dan tawakkal.” (Tafsīr al-Kabīr, Al-Fajr: 27).
Ibnu Qayyim al-Jawziyyah mengaitkan jiwa muthmainnah dengan kondisi itmi’nan (ketenangan spiritual) yang hanya dapat dicapai setelah seseorang melalui tahap-tahap perjuangan nafsu: ammarah (dikuasai nafsu), lawwamah (menyalahkan diri), hingga akhirnya muthmainnah (tenang dan stabil secara ruhani). (Madarij as-Salikin, Jilid 2)
Haji Mabrur sebagai Jalan ke Jiwa Muthmainnah
Ibadah haji adalah representasi mikrokosmos dari perjuangan spiritual manusia.
Ritual-ritualnya bukanlah simbol kosong, tetapi bentuk-bentuk nyata dari tazkiyah al-nafs (penyucian jiwa).
Dalam pandangan Al-Ghazali, haji merupakan “latihan melepas dunia dan mendekati kematian,” karena semua simbol dalam haji mengandung pesan eksistensial: kain ihram seperti kain kafan, wukuf seperti padang mahsyar, dan thawaf seperti orbit kosmik yang teratur. (Iḥyā’ ‘Ulūm ad-Dīn, Kitāb Asrār al-Ḥajj).
Dengan demikian, haji yang dilakukan dengan kesadaran penuh akan makna dan tujuan spiritualnya akan membuka jalan menuju jiwa muthmainnah.
Haji bukan sekadar ibadah jasmani, tetapi merupakan tajrībah rūḥiyyah (pengalaman spiritual) yang mendalam.
Saat seorang hamba telah melewati manasik haji dengan penuh penghayatan, lalu kembali ke tanah air dengan akhlak yang lebih lembut, kepedulian sosial yang lebih tinggi, dan sikap hidup yang lebih damai, maka ia telah menunjukkan tanda-tanda memiliki jiwa muthmainnah.
Refleksi Kritis: Antara Banyaknya Haji dan Langkanya Jiwa Tenang
Sayangnya, tidak semua yang pergi haji pulang membawa ketenangan batin. Kita hidup di dunia yang, meski jumlah jamaah haji terus meningkat setiap tahun, justru semakin kehilangan kualitas rohaniah.
Dunia Islam dipenuhi oleh konflik internal, korupsi moral, dan krisis kepemimpinan spiritual. Hal ini menunjukkan bahwa kuantitas haji belum tentu berbanding lurus dengan kemunculan jiwa-jiwa muthmainnah.
Sebagaimana dikritik oleh Malik Bennabi, "masyarakat Muslim modern mengalami kemandekan bukan karena kekurangan ibadah, tapi karena ibadah tak lagi membentuk karakter sosial." (Syurūt an-Nahdhah, 1948).
Dalam kerangka ini, haji mabrur yang sesungguhnya harus melahirkan subjek historis yang aktif—yang menyebarkan ketenangan, keadilan, dan kesadaran profetik di tengah masyarakat.
Epilog: Menjadikan Haji Titik Balik Jiwa
Haji mabrur bukan hanya perjalanan menuju Ka’bah, tetapi perjalanan pulang menuju Tuhan.
Jika dijalani secara hakiki, ia akan membentuk jiwa muthmainnah yang menjadi penyejuk bumi yang retak.
Ia tidak hanya menenangkan diri sendiri, tetapi juga menularkan ketenangan itu ke dalam lingkup sosial yang lebih luas.
Dengan demikian, kualitas haji mabrur dan jiwa muthmainnah saling berkaitan erat: yang satu lahir dari kesungguhan ibadah, yang lain tumbuh dari kedalaman batin.
Dalam dunia yang dipenuhi kebisingan lahiriah dan kekacauan batiniah, kita memerlukan lebih banyak jiwa-jiwa muthmainnah yang lahir dari haji-haji yang benar-benar mabrur.
Haji Mabrur dan jiwa muthmainnah adalah dua sisi mata uang spiritual:
Haji Mabrur adalah bukti eksternal penyucian jiwa,
Muthmainnah adalah dampak internalnya; ketenangan yang menguatkan manusia di "bumi retak".
Seperti dikatakan Syekh Ali Jaber:
"Haji mabrur itu meninggalkan jejak: hati yang selalu rindu pada Ka’bah, mata yang menangis saat disebut nama Allah, dan jiwa yang tenang meski dunia retak."
Di ujung perjalanan, janji Allah pasti terwujud:
فَإِنَّ الْجَنَّةَ هِيَ الْمَأْوَىٰ
"Maka sungguh, surgalah tempat kembalinya" (QS. An-Nazi’at: 41).
Surga bukan hanya destinasi akhirat, tapi juga ketenangan jiwa (sakinah) di dunia yang fana.
والله أعلم
MS 06/06/25
Posting Komentar
0Komentar