Oleh: Maman Supriyatman
Dominasi dolar AS dimulai dengan Perjanjian Bretton Woods, kemudian diperkuat oleh dilepaskannya dolar dari standar emas pada tahun 1971. Status dolar sebagai mata uang cadangan global memberi AS kendali besar atas sistem keuangan dunia.
Sistem ini membuat AS bisa terus mencetak uang sekehendaknya, termasuk untuk membiayai perang, tanpa resiko inflasi. Berbeda dengan negara-negara lain, seperti Venezuela dan Zimbabwe, yang dilanda hyper inflasi setelah mereka mencetak uang untuk mengatasi krisis moneter di negaranya.
Negara-negara berkembang yang bergantung pada dolar menghadapi risiko besar, termasuk inflasi dan pelarian modal akibat kenaikan suku bunga Federal Reserve, yang melemahkan stabilitas ekonomi mereka.
Ketergantungan ini memperburuk ketidakadilan struktural, dimana negara berkembang terjebak dalam utang berdenominasi dolar dan menghadapi tekanan untuk memenuhi kewajiban tersebut. Sistem ini hanya menguntungkan negara maju dan membuat semua negara dunia ketiga terjebak dalam lingkaran keterbelakangan yang tak berujung.
Ketidakadilan ini adalah salah satu ciri sistem global yang menguntungkan segelintir pihak dengan mengorbankan mayoritas penduduk dunia, sehingga menyebabkan ketimpangan global dan kemiskinan struktural permanen.
BRICS: Simbol Perlawanan terhadap Sistem Eksploitatif
BRICS telah memposisikan diri sebagai simbol perlawanan terhadap dominasi dolar, melalui langkah-langkah seperti penggunaan mata uang lokal dalam perdagangan dan pendirian New Development Bank (NDB). NDB dirancang untuk menyediakan pembiayaan pembangunan tanpa persyaratan berat ala IMF atau Bank Dunia, sementara perdagangan energi yang beralih dari dolar ke mata uang lokal menandai runtuhnya dominasi petrodolar.
Transformasi ini bukan sekadar langkah teknis, tetapi juga simbolik, yang mencerminkan upaya global untuk meruntuhkan sistem eksploitatif. Dalam konteks Eskatologi Islam, upaya ini dapat dimaknai sebagai bagian dari proses menuju kehancuran sistem global yang tidak adil, yang dalam tradisi Islam dikaitkan dengan runtuhnya sistem Dajjal.
Indonesia, Pilar Baru BRICS
Keberadaan Indonesia sebagai anggota baru BRICS membawa dinamika baru dalam upaya menuju sistem multipolar. Sebagai negara dengan populasi Muslim terbesar di dunia, ekonomi terbesar di Asia Tenggara, dan posisi strategis di jalur perdagangan global, Indonesia memiliki sejumlah keunggulan yang menjadikannya pilar baru BRICS:
1. Kontribusi terhadap PDB Dunia
Dengan ekonomi terbesar di Asia Tenggara dan posisi sebagai salah satu negara G20, Indonesia memberikan kontribusi signifikan terhadap PDB dunia. Potensi ini memungkinkan BRICS memperkuat daya tawarnya dalam menantang dominasi sistem ekonomi global yang didasarkan pada dolar AS.
2. Pasar Domestik yang Besar
Dengan populasi lebih dari 280 juta jiwa, Indonesia memiliki pasar domestik yang besar, menjadi daya tarik investasi dan memperkuat kapasitas ekonomi BRICS sebagai blok multipolar. Pasar yang besar ini juga berpotensi mendukung perdagangan antar anggota BRICS menggunakan mata uang lokal.
3. Melimpahnya Sumber Daya Alam
Indonesia kaya akan bahan baku mentah seperti nikel, batu bara, dan minyak sawit, yang sangat penting bagi industri global, termasuk transisi energi hijau. Posisi ini memungkinkan Indonesia menjadi salah satu pemasok utama kebutuhan strategis bagi BRICS, sekaligus memperkuat ketahanan ekonomi anggotanya.
4. Posisi Geografis dan Geopolitik
Terletak di antara dua samudra dan dua benua, Indonesia memainkan peran kunci dalam jalur perdagangan dunia. Posisi ini memperkuat BRICS sebagai blok ekonomi global yang menghubungkan kawasan Asia, Afrika, dan Amerika Latin.
5. Fleksibilitas Politik Luar Negeri
Sejak Konferensi Asia Afrika 1955, Indonesia dikenal sebagai pelopor gerakan Non-Blok, menjadikannya fleksibel dalam memperjuangkan kepentingan multipolar. Tradisi ini memperkuat kemampuan diplomasi Indonesia dalam membangun kerja sama strategis di tengah persaingan geopolitik global.
6. Populasi Muslim Terbesar
Sebagai negara Muslim terbesar, Indonesia memiliki peluang untuk memperkuat solidaritas dunia Islam di dalam BRICS, memberikan perspektif baru yang mengedepankan keadilan, solidaritas, dan kesejahteraan global, sejalan dengan nilai-nilai Islam.
Keberadaan Indonesia dalam BRICS tidak hanya memperkuat posisi blok ini, tetapi juga membuka jalan bagi peran strategis dalam mendefinisikan ulang sistem ekonomi global. Dalam perspektif Eskatologi Islam, peran ini menjadi signifikan, mengingat upaya BRICS melawan ketidakadilan global dapat dilihat sebagai bagian dari perjuangan menuju tatanan dunia yang lebih adil.
Malhamah Kubra sebagai Tonggak Sejarah Besar dalam Narasi Eskatologis
Malhamah Kubra, sebagaimana dinubuatkan dalam banyak hadits, adalah perang besar yang menjadi awal dari transisi global menuju tatanan yang lebih adil dan damai (HR: Bukhari dalam Al-Fitan, 6682, 6683; Muslim dalam Al-Fitan wal Malahim, 2889, 2890; Tirmidzi, 2215; Ibnu Majah, 2077).
Dalam salah satu hadits yang diriwayatkan oleh Muslim, perang ini melibatkan benturan besar antara kebenaran dan kebatilan, yang pada akhirnya menjadi tonggak sejarah penting bagi umat manusia.
Hadits-hadits tentang Malhamah Kubra menggambarkan fase kritis yang mendahului kembalinya keadilan universal di bawah Imam Mahdi. Dalam konteks kontemporer, banyak tanda yang relevan, seperti meningkatnya ketidakadilan global, konflik geopolitik, dan upaya banyak negara untuk menantang dominasi barat.
BRICS, dengan perannya sebagai blok ekonomi multipolar, bisa dipahami sebagai bagian dari dinamika menuju Malhamah Kubra. Konflik besar yang melibatkan AS dan sekutunya melawan kekuatan multipolar baru melalui BRICS yang dipimpin Rusia, dapat dilihat sebagai awal dari runtuhnya sistem ketidakadilan yang telah berlangsung lama.
Peran Strategis Indonesia dalam Perspektif Eskatologi Islam
Sebagai negara Muslim terbesar dan anggota baru BRICS, Indonesia memiliki tanggung jawab strategis untuk memperjuangkan nilai-nilai keadilan dalam sistem ekonomi global. Prinsip-prinsip Islam, seperti larangan riba, distribusi kekayaan yang adil, dan kesejahteraan sosial, dapat menjadi landasan dalam merumuskan kebijakan ekonomi yang lebih berkeadilan.
Langkah menuju sistem ekonomi multipolar yang lebih adil adalah proses panjang yang membutuhkan kombinasi strategi diplomatik, kekuatan ekonomi, dan kesadaran publik. Peran Indonesia sebagai bagian dari BRICS harus dimanfaatkan untuk mendorong kebijakan global yang lebih adil, sambil mempersiapkan diri menghadapi potensi konflik besar yang sangat mungkin menjadi bagian dari transisi ini.
Dalam perspektif Eskatologi Islam, peristiwa besar Malhamah Kubra harus dilihat sebagai ujian sekaligus peluang untuk memperkuat solidaritas umat Islam dan mempersiapkan era baru yang lebih berkeadilan. Dengan kekuatan spiritual, intelektual, dan strategis yang solid, Indonesia dapat menjadi katalisator dalam upaya global menciptakan tatanan dunia baru yang berlandaskan keadilan universal.
Kesimpulan: Menuju Transformasi melalui Jalan yang Tak Terhindarkan
Dominasi dolar AS telah menciptakan ketidakadilan struktural yang merugikan mayoritas dunia. Munculnya BRICS sebagai kekuatan multipolar adalah simbol perlawanan terhadap sistem ini. Namun transformasi besar menuju keadilan global ini, kemungkinan tidak akan terjadi tanpa konflik besar untuk meruntuhkan tatanan lama.
Indonesia, dengan posisinya sebagai negara Muslim terbesar dan anggota BRICS, memiliki peran strategis dalam mempersiapkan transisi ini. Lebih dari sekadar langkah teknis, perjuangan ini mencerminkan tanggung jawab moral untuk membangun dunia yang lebih inklusif dan berkeadilan.
Dengan visi yang terarah, Indonesia memiliki kesempatan sebagai Global Player dalam memimpin transformasi global menuju era baru pasca Malhamah Kubra, dimana nilai-nilai keadilan dan kesejahteraan universal menjadi fondasi utama.
والله اعلم
MS 20/01/25
*) Artikel ini diambil dari WAG
Posting Komentar
0Komentar