Ngawi,ORBIT
Pepatah yang mengatakan, bahwa merawat atau mempertahankan lebih sulit dibandingkan membuat sangat benar adanya. Terbukti banyak peninggalan sejarah dan prasejarah yang tak ternilai tidak mendapatkan perhatian atau terbengkalai. Bangsa ini sering lalai memiliki sesuatu yang berharga, namun ketika barang atau sesuatu sudah hilang baru kemudian kita teriak-teriak kebingunan. Sebagai contoh, betapa kita tidak arif menjaga tradisi kita, tetapi ketika bangsa lain mengklaim baru ribut.
Sama nasibnya peninggalan sejarah kita yang saat ini kondisinya compang-camping tidak terurus, bahkan sebagian besar situs cagar budaya kita sebagian besar telah dicuri. Situs Benda Cagar Budaya Arca Banteng juga mengalami nasib serupa, situs yang berada di Dusun Reco Banteng, Desa Wonorejo, Kecamatan Kedunggalar, Ngawi ini kondisinya juga memprihatinkan. Tidak terawat, konon sebagian besar koleksi yang tersisa telah dijarah masyarakat.
Kini koleksi yang ada tinggal sekitar sepuluhan buah arca ukuran sedang dan beberapa arca kecil serta bebatuan persegi yang berada diatas tanah milik penduduk seluas satu are dikelilingi pagar kawat berduri . Diarea itu terpasang papan pengumuman yang intinya larangan dan sanksi hukuman bagi para tangan jahil mengambil, merusak benda-benda yang keberadaannya dilindungi oleh negara.
Sayang puing-puing arca peninggalan zaman Hindu itu tidak mendapat perhatian pemerintah setempat. Padahal apabila dikelola dengan baik, tempat tersebut juga menjadi daya tarik untuk dikunjungi. Hingga sampai saat ini tempat itu masih banyak dikunjungi oleh warga atau kelompok anak-anak sekolah yang hanya sekedar ingin melihat, ziarah, ataupun ingin riset.
Menurut Widayunarko (27) petugas honorer Dinas Purbakala Trowulan, Mojokerto, yang juga putra dae rah serta ditugasi sebagai pengelola Benda Cagar Budaya Arca Banteng, saat ditemui wartawan Orbit membenarkan bahwa masih banyak warga yang datang ke tempat yang menjadi tanggung jawabnya itu.
Dan terbanyak adalah kunjungan para siswa dari tingkat SD sampai SLTA, bahkan baru-baru ini Arca Ban teng menjadi lokasi penelitian dari Mahasiswa Universitas Soeryo Ngawi dalam kegiatan KKL (kuliah Kerja Lapangan).
Beberapa warga luar daerah juga datang ke Arca Banteng terutama kelompok spiritual untuk melakukan ritual diarea Arca Banteng berupa laku semedi dengan permohonannya masing masing.
Asal Mula Arca Banteng
Menurut Widayunarko asal muasal situs benda cagar budaya Arca Banteng sesuai dengan buku sejarahnya situs itu diketemukan pada tahun 1938 oleh salah seseorang sesepuh dusun Karangbelek yang ber nama Soikromo.Waktu itu Soikromo mendapat petunjuk dari leluhur untuk membongkar gundukan tanah aneh yang berada disebelah selatan dusun, dikatakan aneh karena gundukan itu selalu ditunggui hewan liar berupa Banteng.
Setelah disetujui warga kemudian dilaksanakan pembongkaran gundukan tanah yang disebutkan Soikromo, pada hari Jum’at Legi dan diketemukan dua patung yang menurut perkiraan peninggalan penganut Hindu yang diberi nama Ganhesa dan Nandi.
Dari penemuan arca tersebut ditandai dengan proses mistisyang ditunggui binatang Banteng maka nama Dusun Karangbelek diganti nama dengan Arca Banteng atau populernya Reco Banteng hingga sekarang.
Masih menurut keterangan Widayunarko, Arca Banteng banyak yang hilang dan menurut ceritera yang didapat bahwa sejumlah arca penting telah dicuri orang dan itu terjadi kisaran tahun 1965-an. “Katanya pada tahun sebelumnya keadaan arca banteng masih relatif utuh. Koleksinya masih banyak. Sampai saat ini saja keadaannya masih rawan, terbukti arca yang berada di Kecamatan Ngrambe hilang digasak maling,” terang Widayunarko.
Setelah pihak Dinas Cagar Budaya Trowulan memberikan perhatian dengan memasang pagar kawat ber duri serta papan pengumuman larangan serta menempatkan petugasnya dilokasi situs tersebut kejadian pencurian itu tidak pernah terjadi.
Hanya saja Pemkab Ngawi hingga kini belum serius memperhatikan kelestarian cagar budaya yang berada didesa Wonorejo, Kedunggalar tersebut. Beruntung Balai Trowulan masih melirik keberadaan situs Arca Banteng meski belum sepenuhnya karena terbentur masalah dana.
“Kalau saja saya sudah diangkat sebagai PNS,saya berencana ingin menggadaikan SK saya ke Bank dan uangnya saya gunakan untuk memperbaiki keberadaan benda bersejarah itu,” ujar Widayunarko bersungguh-sungguh.
Kalau seorang petugas dengan status honorer punya tekad sebesar itu untuk ikut melestarikan benda cagar budaya yang tak ternilai harganya lalu bagaimana dengan sikap pemerintah daerah setempat ? Saatnya visi bubati menjadikan Ngawi berbudaya disertai dengan kesungguhan untuk menjaga situs-situs bersejarah dengan penganggaran yang jelas. (yank/arbituary)
Cagar budaya memang harus dilestarikan. Jangan sampai hilang tertelan masa.
BalasHapus