Inti acara Ruwahan, selamatan di makam (nyadran), yang dipimpin oleh kasun dan diisi dengan tauziah oleh kyai setempat.
Ngawi, Orbit-Ind
Ruwahan merupakan tradisi sebagian besar dianut orang Jawa yang beragama Islam. Tradisi ini mencerminkan kondisi dimana sebuah kaum sangat agamis atau religius dan merupakan produk kearifan lokal (local genious). Sudah barang tentu tradisi ini tidak ada di negara Arab dimana Islam mulai syiarnya. Kegiatan tradisi seperti ini bagi sebagian muslim menganggap sebagai bid'ah atau perbuatan yang mengada-ada karena Rosulullah Muhammad SAW tidak mengajarkannya. Namun itulah kekuatan ulama Nusantara dalam menjalankan dakwah kepada kaum pribumi waktu itu yang dikenal telah memiliki agama budhi, dan hal itu terbukti Islam di Nusantara menjadi kekuatan terbesar di dunia.
Kegiatan ruwahan dibeberapa tempat subkultur Jawa sangatlah beragam, akan tetapi ada kesamaan dari ragam budaya ruwahan tersebut, yakni keriangan menyambut akan datangnya bulan Ramadhan dengan kegiatan kirim do'a kepada leluhur. Karena kata ruwahan sendiri berasal dari padanan kata 'ruwah' ditambah dengan akhiran 'an'. Ruwah berasal dari kata 'Ruh atau Roh' yang berarti jiwa. Dalam artian ini arwah dari orang yang telah meninggal untuk diuri-uri kerlangsungannya. Karena pada dasarnya roh itu hidup yang perlu mendapat perhatian dari ahli warisnya berupa do'a. Jadi secara spesifik berarti memberi penghormatan kepada arwah ahli waris yang telah berada di alam kubur. Maka tak ayal kegiatan ruwahan paling banyak berupa selamatan atau kegiatan nyadran diarea pekuburan. Dimulai dengan membersihkan dan merapikan makam, selanjutnya dilakukan selamatan dan nyekar atau tabur bunga.
Di Desa Banyubiru tradisi ruwahan ini juga dilakukan oleh sebagian besar warga. Bahkan pihak pemerintahan desa tetap mendorong agar kedepan kegiatan ini tetap berlangsung lestari, karena bagaimanapun memiliki ruang positif yakni kerukunan dan kegotong royongan.
Kades Desa Banyubiru mengatakan, bahwa cara ruwahan atau sadranan ditentang umat Islam, karena kental dg praktek animisme. Pada jaman dulu datang ke kuburan pada bulan ruwah untuk meminta pada leluhurnya, agar diberi keselamatan, kehidupan yang cukup.
"Pada jaman sekarang diacara ruwahan kami modifikasi atau rubah tentang niat dan acaranya. Kami mengundang tokoh agama mengisi acara berupa tausiah dg menjelaskan bahwa ahli kubur itu menunggu doa doa anak turunnya. Maka acara ruwahan saat ini sangat berbeda dengan yang dilakukan orang jaman dulu," ujar Kundari.
"Barangkali untuk dipikirkan dimasa mendatang dijadikan agenda rutin Desa Banyubiru, Kecamatan Widodaren. Hal ini bisa saja menarik perhatian masyarakat lain untuk berkunjung di daerah kami, apalagi didesa kami telah ada tempat wisata minat khusus, Kampung Kebo, Bulak Pepe dan Candi Kuncen," lanjut Kundari.
Sudah barang tentu ini akan menjadi sebuah tradisi yang memiliki keunikan tersendiri bagi masyarakat atau pengunjung dari luar desa dalam rangka menikmati wisata minat khusus, atau wisata religi.
Kepala Desa yang telah menjabat dua kali periode ini juga menyatakan, bahwa tradisi ruwahan menjelang puasa atau menyambut datangnya bulan Ramadhan sejak dahulu telah ada. Bahkan barangkali tradisi ini telah ada semenjak berdirinya Desa Banyubiru. Karena pendiri Desa Banyubiru sendiri adalah sentono dalem Kasultanan Ngayogyakarta yang beragama Islam. Jadi Pemerintahan Desa Banyubiru tidak salah apabila mengakomodir kegiatan ini sebagai agenda tahunan bagi desa.
Masih menurut Kundari, tradisi ruwahan menjadi simbol bahwa masyarakat Banyubiru masyarakat yang agamis atau religius dengan menekankan kegotong royongan. Juga menyatukan warga desa untuk menyambut datangnya bulan Ramadhan secara riang gembira. Ini sesuai dawuh dari Kanjeng Rosulullah SAW, barang siapa bergembira atas datangnya bulan Ramadhan akan dilimpahkan rahmat Allah kepada kaum tersebut.
Kegiatan Ruwahan tahun 2024 dalam menyambut Bulan Ramadhan 1445 H yang telah berlangsung bulan Maret 2024 lalu dimulai dengan adanya acara gugur gunung, bersih-bersih makam. Untuk saat ini acara gugur gunung telah dilakukan beberapa hari sebelumnya.
Selanjutnya pada hari yang telah ditentukan dalam musyawarah dusun, diadakan acara selamatan di pemakaman. Masing-masing keluarga membawa satu buah sesajian berupa panggang-tumpeng.
Usai melakukan pembersihan makam seperlunya, kemudian kepala dusun wilayah masing-masing melakukan sambutan yang selanjutnya diadakan tausiah oleh seorang kyai setempat, sekaligus memulai acara selamatan. Tausiah inilah sedikit demi sedikit merubah niat dari warga untuk mendoakan arwah, bukan minta doa kepada arwah.
Jadi acaranya sebenarnya sangat sederhana, yakni berupa nyadran yang diikuti oleh seluruh warga yang memiliki keluarga yang dimakamkan ditempat masing-masing. Itupun dilaksanakan berbarengan disetiap dusun. Beberapa dusun menerapkan sesuai adat masing-masing.
Namun kegiatan ruwahan ini selalu dinantikan oleh warga dusun, karena hanya dilakukan setahun sekali menjelang puasa ramadhan, atau dipertengahan bulan ruwah dalam penanggalan Jawa Arab atau bulan Sya'ban pada penanggalan Arabia. Bagi masyarakat Jawa, kurang afdol apabila belum berziarah kepada makam ahli waris setiapjelang puasa dan akhir puasa.
Menurut Lancur Setiyadi, Kasun Banyubiru, bahwa kegiatan ruwahan sampai saat ini tetap dilaksanakan oleh warga desa. Ia selaku kepala dusun juga akan terus mendorong masyarakat untuk melakukan kegiatan-kegiatan positif.
Modifikasi Ruwahan Di Desa Banyubiru. Tampak salah satu Kasun memberikan sambutan dan selanjutnya diisi tausiah dari sesepuh atau kyai setmpat menjelaskan tujuan ruwahan.
Menurut Lancur, ruwahan bisa menjadi sarana untuk menjaga kekompakan warga, bergotong royong. Dengan begitu warga akan selalu hidup rukun dan saling tolong menolong.
Namun pihaknya juga tidak memaksa kepada warga intuk mengikuti acara ini, sifatnya sukarela. Bagi warga yang tidak mau ikut dalam kegiatan acara ruwahan dipersilahkan, karena saat ini kondisi masyarakat semakin majemuk dengan pemahaman dan pemikiran yang berbeda. Namun ia selaku kepala dusun berharap perbedaan pandangan ini bukan halangan bagi warganya untuk hidup rukun, saling tolong menolong dan saling membantu serta saling berdampingan.
Ke depan sangat baik apabila kegiatan ruwahan tersebut akan menjadi agenda rutin dan disupport oleh desa. Keunikan ini akan menjadikan ruwahan menjadi daya tarik kekhasan Desa Banyubiru. Apalagi desa ini telah memiliki potensi sebagai desa wisata, yaitu Kampung Kebo, Bulak Pepe.
Pewarta: Katimin A. Rohim
Posting Komentar
0Komentar