Ngawi, Orbit-Ind
Di tengah pragmatisme pertanian saat ini nilai-nilai yang terkandung dalam kultur agraris mulai terpinggirkan, bahkan ditinggalkan, demikian gagasan yang terlontar dari seorang Wahyudi, praktisi pertanian organik dari Sidomakmur, Widodaren, saat mengawali diskusi atau sarasehan yang dihelat oleh DKKN (Dewan Kesenian dan Kebudayaan Ngawi), Selasa, 2 April 2024, di Pendopo Wedya Graha.
Ada empat narasumber sebagai pemantik diskusi yang dihadirkan dalam sarasehan atau diskusi kali ini, yakni Bupati Ony Anwar Harsono, Wabub Dwi Rianto Jatmiko, Ketua DKKN, Arsad Rugandhi, Tjahjono Widijanto sekaligus sebagai pemandu diskusi.
Audien yang hadir diantaranya tokoh-tokoh pegiat kebudayaan dan kesenian dari penjuru Ngawi, serta sejumlah pejabat dilingkungan Pemkab Ngawi, diantaranya Kadin Pertanian, Kadin Disparpora, Kadin Lingkungan Hidup serta pejabat lain dilingkungan OPD Ngawi.
Kemudian, Wahyudi tokoh praktisi petani organik ini juga melontarkan pernyataan, khususnya petani padi dihadapkan pada kenyataan, bahwa saat ini telah bergeser dari bertani sebagai hidup yang penuh nilai menjadi petani yang dibebani oleh untung rugi alias pragmatisme ekonomi. Maka ia menyatakan, bahwa petani saat ini jarang yang bisa bahagia.
Sontak saja, salah seorang peserta diskusi langsung nyeletuk, tidak setuju dengan pernyataan tokoh Sri Organik ini.
Tjahjono Widijanto, sebagai pengendali diskusi, langsung menggeser memberikan kesempatan kepada pemantik lainnya yaitu Arsad Ragandhi untuk menuangkan gagasan tentang eksistensi pragmatisme pertanian. Karena memang saat itu belum memasuki sesi tanya jawab.
Sebelumnya Tjahyono memberikan gambaran, bahwa kultur agraris telah berkembang sedemikian rupa sejak jaman kolonial Belanda. Ada sekitar 32 desa di Lereng Lawu yang terbentuk, sebagian besar penghuninya adalah petani. Mereka adalah eksodus dari para pejuang atau gerilyawan pasukan Diponegoro. Kemudian mengembangkan pertanian dikawasan yang dikatakan sebagai negara Manca Timur. Jadi memang kegiatan pertanian telah melahirkan kebudayaan agraris dan terbukti mencapai kedaulatan pangan yang sesungguhnya.
Gandhi, sebagai salah satu Ketua DKKN menyatakan, bahwa pertanian memiliki nilai apabila pelakunya secara tulus mempertahankan nilai-nilai dalam kultur agraris, karena petani adalah seorang wirotani atau kesatria/ perwira. Di Ngawi pergerakan Wirotani ini telah ada pada jaman bergejolaknya perang Diponegoro. Maka semangat untuk kegiatan agraris sangat kental di Ngawi.
Pemantik ketiga, Dwi Rianto Jatmiko, sebagai penasehat DKKN mencermati, bahwa pertanian di Ngawi sebagian masih mempertahankan tradisi dan adat istiadat yang juga memantik kegiatan berkesenian.
Wabub Ngawi berharap adanya diskusi ini menjadi momentum untuk saling memberi masukan agar kegiatan berkebudayaan akan berkembang khususnya bidang pertanian. Jadi tidak terhenti diwacana, tetapi juga eksistensinya ada.
Sebagai pemantik terakhir, Ony Anwar Harsono, memaparkan, bahwa dalam kultur pertanian (budaya agraris, red.) memiliki nilai, karena esensinya beribadah. Berprofesi dengan tulus dan panggilan jiwa.
Dengan mensitir ajaran Islam, bahwa setiap manusia dibumi digadang menjadi khalifah yang akan berjuang berbudidaya menjadi umat terbaik, maka sebuah kegiatan bernilai harus dilakukan dengan sepenuh hati. Demikian pula dengan profesi petani, dedikasinya adalah sebagai penyedia pangan untuk umat. Ini adalah nilai-nilai yang harus dipertahankan oleh petani di tengah-tengah pragmatisme saat ini. Kegiatan pertanian mestinya tidak hanya mengejar keuntungan semata, namun juga memiliki nilai ibadah dalam kehidupan petani.
"Makom sebagai penyedia pangan ini yang menghadirkan petani memiliki nilai ibadah yang selanjutnya diekspresikan dalam sebuah kebudayaan, termasuk dibidang kesenian," terang Ony Anwar.
Dalam sesi tanya jawab, Dwi, yang mengaku murni sebagai petani asal Soco, sangat berbahagia sebagai petani. Karena ia dan keluarga merasa berkecukupan. Dan bertani itu baginya adalah jalan hidup. Seolah menyanggah pernyataan pemantik, Wahyudi.
Kemudian Bupati Ony Anwar berharap seorang petani seperti Dwi ini menularkan kebahagiannya kepada para petani, agar tugas pemerintah menjadi ringan.
Salah satu tokoh teater, Kusprihyanto berpendapat harus ada terobosan kebudayaan yang berbeda, sebagaimana K-Pop di Korsel.
Sedangkan Kusprihyanto, tokoh teater Ngawi berharap ada terobosan budaya pertanian sebagaimana halnya Korea Selatan. Terbukti dengan berkembangnya K-Pop, Korsel menjadi salah satu negara yang bisa bertahan paling kuat atas resesi dunia.
Mengakhiri diskusi, Tjahjono Widijanto, kemudian menutup dengan sebuah harapan, diskusi terbuka ini akan melahirkan ide-ide untuk mengembangkan setiap aspek berkebudayaan di Ngawi, utamanya dibidang pertanian sesuai tema diskusi. Kedaulatan pangan akan bisa tercapai berbarengan dengan berkembangnya nilai-nilai dalam kebudayaan agraris. Dalam berkegiatan pertanian tersebut juga berkembang kesenian-kesenian lain yang bercorak agraris, sebagai ciri otentik masyarakat Ngawi.
Pewarta: Katimin A. Rohim
Posting Komentar
0Komentar