Oleh: Maman Supriatman
Dalam era digital yang berkembang pesat, kecerdasan buatan (Artificial Intelligence/AI) hadir sebagai pedang bermata dua. Di satu sisi, AI menawarkan kemudahan dan efisiensi dalam kehidupan manusia modern, sementara di sisi lain, ia menghadirkan ancaman serius bagi nilai-nilai spiritual dan kemanusiaan.
Dalam perspektif Islam, era digital dapat menjadi bagian dari fitnah akhir zaman, di mana teknologi yang diciptakan untuk memudahkan manusia justru berpotensi menciptakan ilusi, dehumanisasi, kebutaan spiritual, yang berpotensi menyebabkan krisis eksistensial.
Artikel ini akan mendalami isu ini dengan menyoroti bagaimana digitalisasi kehidupan membawa risiko manusia kehilangan karakter kemanusiaannya akibat dominasi program eksternal yang dikendalikan oleh algoritma dan sistem global.
Kelebihan AI
1. Mempermudah Kehidupan Duniawi
Teknologi AI memungkinkan manusia untuk mengelola waktu, tenaga, dan sumber daya dengan lebih efisien. Islam mendorong pemanfaatan akal dan ilmu pengetahuan untuk kemaslahatan umat, dan AI dapat berperan besar dalam mendukung hal ini.
2. Meningkatkan Ilmu Pengetahuan
AI dapat membantu umat Islam memahami ayat-ayat kauniyah (tanda-tanda kekuasaan Allah di alam semesta) dengan lebih mendalam. Analisis berbasis AI mampu mempercepat penelitian ilmiah dan mendukung pemahaman terhadap teks Al-Qur'an dan Hadis.
3. Memperluas Dakwah
AI memfasilitasi penyebaran dakwah secara global melalui media digital. Dengan teknologi ini, pesan Islam dapat menjangkau audiens yang lebih luas dan disampaikan dengan cara yang lebih interaktif dan kreatif.
Era Digital sebagai Fitnah Dajjal
Dari perspektif Eskatologi Islam, salah satu ciri utama fitnah Dajjal adalah menciptakan ilusi kontrol total atas manusia, menggantikan kebebasan dengan kendali eksternal. AI, sebagai produk digitalisasi, berpotensi menciptakan skenario ini dalam beberapa cara:
1. Menguatnya Materialisme dan Kebutaan Hati
AI memperkuat budaya materialisme yang hanya memandang dunia dari sudut pandang empiris, sebagaimana diingatkan dalam Surat Ar-Rum Ayat 7:
"Mereka mengetahui yang lahir (tampak) dari kehidupan dunia; sedangkan terhadap (kehidupan) akhirat mereka lalai."
Budaya ini menjauhkan manusia dari kesadaran spiritual dan kehidupan akhirat, mencerminkan filosofi Dajjal bermata satu yang dikaitkan dengan kebutaan mata hati.
2. Hilangnya Karakter Kemanusiaan
Interaksi sosial yang semakin bergeser ke dunia digital berisiko mengurangi empati, kasih sayang, dan nilai-nilai kemanusiaan. Dehumanisasi ini adalah bagian dari fitnah besar yang menjauhkan manusia dari jati dirinya sebagai makhluk yang mulia.
Hal ini sejalan dengan peringatan Allah dalam Surat Al-A'raf Ayat 179:
"Dan sungguh, Kami jadikan untuk (isi neraka) Jahanam banyak dari jin dan manusia. Mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah), dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu seperti hewan ternak, bahkan lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai."
Ayat ini menegaskan bahwa kebanyakan penghuni neraka adalah mereka yang buta mata hatinya, hidup tanpa memanfaatkan akal, penglihatan, dan pendengaran untuk mendekat kepada Allah. Digitalisasi kehidupan yang berlebihan, tanpa panduan spiritual, dapat menjadikan manusia kehilangan orientasi hidupnya, sehingga terjebak dalam pola pikir materialistis dan jauh dari kesadaran akhirat, persis seperti hewan, bahkan lebih hina daripada hewan.
3. Pengabaian Kebenaran Hakiki
AI dapat menciptakan ilusi kebenaran berbasis data dan algoritma, bukan Wahyu Ilahi. Hal ini sesuai dengan peringatan Allah dalam Surat Al-A'raf Ayat 179:
"Mereka memiliki hati, tetapi tidak memahami dengannya, memiliki mata, tetapi tidak melihat dengannya, dan memiliki telinga, tetapi tidak mendengar dengannya. Mereka itu seperti hewan ternak, bahkan lebih sesat lagi."
4. Menghilangkan Kemampuan Refleksi Spiritual
Ketergantungan pada teknologi mengikis kepekaan manusia terhadap tanda-tanda Allah, sebagaimana disebutkan dalam Surat Al-Isra' Ayat 72:
"Dan siapa yang buta (hatinya) di dunia ini, maka di akhirat nanti dia akan lebih buta lagi dan lebih tersesat dari jalan yang benar."
5. Penciptaan Kehidupan Artifisial
Teknologi AI yang meniru manusia, seperti robot humanoid atau cloning, dapat dianggap sebagai bentuk arogansi manusia yang menantang fitrah penciptaan Allah. Ini meningkatkan potensi manusia untuk merasa mampu menyaingi kekuasaan-Nya.
Untuk menghadapi tantangan ini, diperlukan langkah-langkah strategis. Umat Islam harus memperkuat hubungan dengan Allah melalui ibadah, dzikir, dan refleksi. Teknologi tidak boleh menggantikan hubungan manusia dengan Tuhan.
Membangun kesadaran tentang bahaya teknologi melalui pendidikan, baik di kalangan anak muda maupun masyarakat umum. Pemahaman tentang privasi, etika digital, dan nilai-nilai Islam harus diperkuat. Pengembangan AI harus mempertimbangkan prinsip-prinsip keadilan, kemaslahatan, dan penghormatan terhadap kemanusiaan.
Refleksi dan Implikasi: Epistemologi Dua Mata sebagai Penangkal Fitnah Digital
Islam menawarkan solusi mendasar melalui epistemologi dua mata, yaitu keseimbangan antara mata lahir dan mata hati. Mata lahir berfungsi untuk memahami fenomena fisik dan memanfaatkan ilmu pengetahuan, termasuk teknologi. Namun, mata hati yang hidup diperlukan untuk menyingkap realitas kebenaran yang hakiki di balik penampakan lahir.
Allah berfirman dalam Surat An-Nur Ayat 35 bahwa Allah adalah cahaya langit dan bumi, dan Dia membimbing kepada cahaya-Nya siapa yang Dia kehendaki. Cahaya Ilahi ini hanya dapat diraih oleh hati yang bersih melalui _tazkiyatun nafs._
Proses menyambut cahaya Ilahi melibatkan langkah-langkah spiritual antara lain melalui: membaca Al-Qur'an (HR. Ibnu Majah); mengingat kematian (HR. Tirmidzi); berpuasa (HR. Bukhari); menangis karena takut kepada Allah (HT. Tirmidzi); beristighfar (HR. Bukhari); menghindari dosa (HR.Tirmidzi); dan beramal shalih (HR. Bukhari).
Dengan membersihkan hati, manusia tidak hanya terhubung dengan dimensi spiritual, tetapi juga mampu mengarahkan teknologi seperti AI untuk mendukung nilai-nilai Ilahiah, bukannya terjebak dalam ilusi materialisme.
Epistemologi dua mata mengajarkan bahwa teknologi bukan sekadar alat netral, tetapi memiliki potensi menggiring manusia kepada kebutaan hati jika tidak dilandasi iman. Teknologi digital menciptakan ilusi kebenaran melalui algoritma dan data, tetapi realitas sejati hanya dapat ditembus oleh mata hati yang tercerahkan Cahaya Ilahi.
Mata lahir yang digerakkan oleh petunjuk Wahyu memungkinkan umat Islam memanfaatkan teknologi untuk kemaslahatan dunia dan akhirat.
Perspektif eskatologis mengingatkan bahwa dominasi teknologi yang melihat dunia secara sepihak adalah refleksi dari fitnah mata satu Dajjal, yang menciptakan ilusi kontrol mutlak atas dunia. Sebaliknya, menghidupkan epistemologi dua mata memberikan umat Islam tameng utama dalam menghadapi era digital.
Dengan mata lahir, manusia mengenali fenomena dan memanfaatkan teknologi sebagai sarana. Dengan mata hati, manusia memahami tujuan akhir dari semua ciptaan Allah.
Dalam konteks ini, upaya menghadirkan Cahaya Ilahi dalam kehidupan melalui pendidikan menjadi penting. Kurikulum pada semua jenis dan jenjang pendidikan perlu ditinjau ulang agar tidak hanya mengasah kemampuan lahiriah, tetapi juga memprioritaskan pembentukan mata hati untuk menjemput Cahaya Ilahi.
Tanpa mata hati yang hidup, manusia hanya akan menjadi “robot” dalam kendali algoritma global, kehilangan fitrah dan makna kehidupannya. Epistemologi dua mata tidak hanya menjadi kunci melihat kebenaran, tetapi juga jalan untuk menyelamatkan manusia dari jebakan era digital yang berpotensi menjadi fitnah terbesar di zaman modern.
والله اعلم
MS 26/01/25
Posting Komentar
0Komentar