Pasar Desa Widodaren, salah satu representasi tempat berkumpulnya warga dalam transaksi ekonomi, kedamaian dan tidak pernah terjadi konflik mencerminkan warga toleran. (Foto: Orbit-Ind)
Ngawi, Orbit-Ind
Salah satu kelebihan Desa Widodaren, Kecamatan Gerih adalah dari kesejarahan memiliki brand yang kuat, yakni baik kesejarahan tentang sosio kultural maupun geopolitik saat kolonial Belanda. Maka dari itu tidak salah apabila Kolonial Belanda menganggap strategis secara geografis dan geopolitik, sehingga Widodaren menjadi wilayah penting dalam pendudukannya. Anggapan tersebut setidaknya menjadi landasan Unesa (Universitas Negeri Surabaya) menetapkan Desa Widodaren menjadi desa Rintisan Pancasila dari dua desa yang ada di Ngawi. Desa Rintisan Pancasila adalah sebuah desa yang secara sosial telah berhasil menata pemerintahan dan masyarakatnya menjadi desa yang ramah dari masalah toleransi terhadap keberagaman.
Widodaren memiliki jumlah penduduk relatif besar, yaitu lebih dari enam ribu jiwa. Secara sosial terdapat keberagaman dalam hal pemelukan terhadap agama yang dianut, yakni Islam sebagai mayoritas, Katolik, Kristen, Hindu, Budha serta Penghayat Kepercayaan. Disamping itu terdapat berbagai komunitas yang juga beragam dan strata sosial yang membuat diversitas keberagaman semakin komplek. Namun keberagaman tersebut tidak sekalipun membuat disharmoni apalagi mengarah kepada disintegrasi pada masyarakat. Demikian salah satu statemen dari Kepala Desa Widodaren, Bagus, setelah desanya menjadi kajian desa rintisan Pancasila.
Untuk itulah, kemungkinan yang menjadi dasar Unesa menentukan Desa Widodaren menjadi Desa Rintisan Pancasila.
"Faktanya desa kami memiliki keberagaman dalam segala hal, tetapi hal tersebut tidak menjadi kendala dalam kehidupan bermasyarakat. Bahkan saya sendiri beragama Katolik, akan tetapi masyarakat tidak melihat perbedaan itu dalam kehidupan sosial," terang Bagus kemudian.
Kepala desa muda berpenampilan flamboyan ini juga merasa baik-baik saja dan nyaman dalam memimpin desanya, bahkan merasakan keguyuban warganya dalam membangun desa. Hebatnya pengalamannya selama ini belum pernah ada konflik tentang perbedaan.
"Keberadaan saya ini juga menjadi representasi keadaan masyarakat yang tidak mempersoalkan tentang perbedaan dan selalu munjunjung kebersamaan," imbuhnya.
Oleh karena itu, Desa Widodaren nampak lebih maju dan dinamis dibandingkan dengan ibukota Kecamatan Gerih. Dinamika kehidupan maju yang ditunjukkan warga Desa Widodaren, tampak dari aktifitas roda perekonomian yang relatif mapan. Bahkan aktifitas pasar desanya sejak dahulu sangat ramai. Hal ini juga didukung dengan letak geografis Desa Widodaren yang berada diperlintasan jalur utama yang menghubungkan Kecamatan Kendal dengan Kecamatan Geneng.
Kondisi sosio kultural dinamis yang ditunjukan masyarakat Widodaren selama ini sebenarnya telah melalu proses kesejarahan yang panjang,dimulai sejak pemerintahan Kolonial Belanda. Bahkan diperkirakan peradaban Desa Widodaren telah berkembang maju sejak prakolonial atau jaman Kerajaan Majapahit. Hal itu dibuktikan dengan adanya mitologi dan legenda yang berkembang pada masyarakat tentang sejarah desa. Demikian juga apabila menilik dari sejarah masa lalu jaman Majapahit, desa ini wilayahnya beririsan dengan Alas Ketonggo, dimana dipercaya oleh masyarakat luas sebagai tempat persinggahan Prabu Brawijaya V menjelang pengasingannya di Gunung Lawu.
Alas Ketonggo dan sekitarnya bisa jadi merupakan pemukiman yang sangat besar, terbukti banyak terdapat kuburan masa Hindu dan masa sebelumnya. Hal itu dibuktikan dari kesaksian penggali kubur, pemburu harta karun yang mengaku banyak menemukan perhiasan emas, peralatan pertukangan dan pertanian. Bahkan beberapa kubur ditemukan rangka yang besar dengan penutup lempengan batu yang cukup panjang dan lebar. Jenazah tersebut biasanya dikubur dengan perhiasan manik-manik atau batu permata.
Tentunya sangat tepat apabila Desa Widodaren sebagai desa percontohan desa rintisan Pancasila dalam ketegori kehatmonisan dan kerukunan dalam masyarakatnya.
Pewarta: Koh Mien
Posting Komentar
0Komentar