Oleh: Maman Supriatman
IPCE 05-11-25
Jika artikel kemarin membedah Pusaran Kosmik Sejarah dari dialektika Mataram-Pesisir menuju sintesis Indonesia Emas, maka pagi ini kita menapak lebih dalam: memasuki wilayah nubuwwah dan eskatologi.
Perjuangan Indonesia kontemporer yang kita saksikan hari ini bukanlah fragmen yang terpisah, melainkan babak final dari sebuah naskah kosmik yang telah dituliskan oleh para leluhur dan wali. Dari medan politik, kita melangkah ke medan sabda; dari telaah struktural, kita menyelam ke dalam hermeneutika zaman.
Prolog: Mandat dari Tanah Mataram
Baik Prabowo maupun Purbaya sama-sama memikul warisan darah Mataram. Prabowo melalui garis Mangkunegaran, yang menurun dari Sultan Agung Hanyakrakusuma; sang ratu pinandita, raja sekaligus resi.
Sementara Purbaya Yudhi Sadewa, dalam narasi kultural dan simbolik, dikaitkan dengan warisan kekuasaan Mataram–Cirebon; sebuah pantulan nilai yang sama: disiplin spiritual, kesetiaan kosmik, dan pengabdian total.
Dalam Kosmologi Nusantara, nasab adalah resonansi amanah langit. Ia bukan sekadar garis biologis, melainkan gelombang ruhani yang membawa tugas menyambung harmoni semesta.
Jika Sultan Agung menegakkan tatanan kosmik dengan keris dan tapa brata, maka generasi hari ini menegakkannya dengan sistem, keberanian moral, dan penyucian birokrasi. Keduanya sama-sama bertugas menjaga keseimbangan antara kekuasaan dan kesadaran.
Dari titik inilah nubuwwah lokal beresonansi dengan nubuwwah global; membuka horizon bahwa sejarah Nusantara adalah bagian dari rencana besar langit: penyatuan dunia menuju zaman keadilan semesta.
Menuju Kesadaran Profetik: Membongkar Kotak Pandora Zaman
Tradisi Nusantara tidak pernah kehilangan daya nubuwwah. Ia hidup dalam uga, wangsit, dan sabda leluhur; pesan simbolik yang diwariskan untuk membaca tanda-tanda zaman.
Uga Wangsit Siliwangi berbicara tentang kemunculan Budak Angon dan Budak Janggotan: satu melambangkan kecerdasan teknologi, yang lain kebijaksanaan ruhani.
Keduanya akan bertemu dalam diri generasi yang menyatukan akal dan dzikir, menciptakan peradaban baru yang profetik.
Jangka Jayabaya, di sisi lain, menubuatkan datangnya Ratu Adil, Sabdapalon, dan masa Kalasuba–Kalabendu. Ia bukan sekadar ramalan, melainkan teks kosmologis, peta moral tentang siklus zaman.
Dalam tradisi Eskatologi Islam, baik Uga Wangsit Siliwangi maupun ramalan Jayabaya ini paralel dengan nubuwwat tentang zaman keemasan pada era Imam Mahdi dan Nabi Isa AS, yang kemudian bertemu kembali dengan zaman Kalasuba dalam Kosmologi Nusantara.
Jika Kalabendu adalah masa kekacauan, maka Kalasuba adalah zaman penyucian sebagai prasyarat menuju era keemasan.
Ratu Adil bukan individu tunggal, melainkan simbol kesadaran profetik kolektif yang menegakkan keseimbangan bumi-langit.
Jika dalam Islam, Imam Mahdi diutus sebagai penutup daur sejarah, maka dalam horizon Jawa, Ratu Adil adalah resonansinya. Keduanya menandai masa ketika kebenaran kembali menjadi poros dunia.
Hermeneutika Zaman: Dari Kalabendu Menuju Kalasuba
Serat Jayabaya mengajarkan bahwa sejarah berputar seperti ombak, naik dan turun dalam hukum keseimbangan Ilahi.
Kalabendu, masa kerusakan moral, adalah refleksi dari kondisi global kini: politik tanpa nurani, ekonomi tanpa keadilan, ilmu tanpa adab.
Namun sebagaimana malam melahirkan fajar, Kalabendu akan melahirkan Kalasuba, masa pembersihan sistem dan kesadaran.
Bangsa-bangsa yang mampu menyucikan dirinya akan menjadi bagian dari gerbong Ilahi menuju zaman terang. Dan bangsa yang menolak kebenaran akan tergulung dalam arus sejarah.
Nusantara, dengan warisan spiritual para wali dan leluhur yang meletakkan keseimbangan sebagai inti kehidupan, kini kembali dipanggil untuk memainkan peran itu: menjadi tanah penyucian zaman.
Posisi Profetik Indonesia: _The Spiritual Buffer Zone
Dalam geopolitik dunia akhir zaman, Timur menjadi simbol terbitnya cahaya. Sabda Nabi ï·º menyebut:
"Akan keluar dari arah Timur panji-panji hitam yang tidak akan dikalahkan hingga akhirnya diserahkan kepada seorang dari keluargaku, Mahdi.” (HR. Ibn Majah, Ahmad)
Timur bukan hanya arah geografis, tetapi arah spiritual. Ia menunjuk pada kawasan di mana fitrah masih hidup dan bumi belum kehilangan kesuciannya. Dan di antara semua wilayah Timur, Nusantara adalah tanah di mana langit dan laut bersujud dalam harmoni.
Di sinilah tiga arus peradaban besar bertemu: Islam dari Barat, Buddhisme dari Utara, dan mistisisme Austronesia dari Timur. Persilangan itu melahirkan spiritualitas unik: Islam yang ramah, sufisme yang terbuka, dan politik yang berjiwa.
Karena itu, Indonesia memiliki posisi profetik dalam panggung dunia. Ia bukan sekadar negara bangsa, tetapi “tanah perantara” — the spiritual buffer zone — tempat lahirnya kesadaran yang menjembatani dunia lama dan dunia baru, materialisme dan ruhaniyah, Barat dan Timur.
Membangun Generasi Budak Angon: Sintesis Dzikir dan Fikr
Ramalan tidak dimaksudkan untuk ditakuti, tetapi disadari. Ia adalah cermin di mana manusia melihat bayangan takdirnya sendiri. Ketika Jayabaya berbicara tentang masa “orang salah direwangi, wong bener ditinggal mati”, ia sedang menggambarkan masa di mana sistem nilai runtuh — masa yang kini sedang kita jalani.
Namun, di balik kehancuran itu tersimpan janji: bahwa dari reruntuhan zaman akan tumbuh Generasi Budak Angon–Budak Janggotan; generasi yang menggabungkan kecerdasan digital dengan kejernihan dzikir. Inilah generasi yang sedang dipersiapkan untuk menyambut tatanan Mahdawi, generasi yang memandang teknologi sebagai sarana ibadah dan kekuasaan sebagai ladang pengabdian.
Dengan demikian, kotak pandora zaman telah terbongkar: bukan untuk menebar malapetaka, melainkan untuk melepaskan harapan terakhir, yaitu kesadaran profetik yang akan memandu manusia melewati kegelapan menuju fajar.
Epilog: Fajar Mahdawi dari Timur
Sejarah Nusantara adalah cermin kecil dari sejarah dunia. Dari Majapahit hingga Mataram, dari Soekarno hingga era kini, garisnya sama: menyatukan yang tercerai, menegakkan yang roboh, memurnikan yang ternoda.
Dalam konteks inilah Purbaya memperoleh mandat khusus dari Prabowo sebagai striker sistemik — tugas profetik untuk membuka kotak pandora warisan sejarah yang selama ini mengunci bangsa dalam siklus korupsi dan ketidakadilan.
Sebagaimana disebut dalam artikel kemarin, ia adalah ujung tombak yang membongkar mafia hukum, mafia proyek, dan oligarki ekonomi warisan sistem lama.
Kini, di tengah krisis global dan kegelisahan umat manusia, bangsa ini kembali dipanggil oleh takdirnya. Tugasnya bukan hanya politik dan ekonomi, tetapi spiritual; menjaga agar cahaya tetap menyala di tengah gelap.
Fajar itu memang akan datang dari Timur. Fajar itu bukan sekadar sinar matahari, melainkan cahaya kesadaran yang memancar dari hati bangsa yang bersujud dengan rendah hati kepada Tuhannya.
Ketika dunia memasuki masa gelap fitnah, Indonesia harus berdiri tegak sebagai lentera: lentera keadilan, lentera keberanian, lentera keseimbangan.
Dan di ufuk timur Nusantara, matahari itu mulai tampak: Fajar Mahdawi yang disambut dengan Gemah Ripah, Tatanan Harmoni Ilahi.
والله اعلم
Institute of Prophetic Cosmology and Eschatology (IPCE)
Serial Kosmologi Kekuasaan Nusantara Menuju Era Indonesia Emas

Posting Komentar
0Komentar